Pages

Friday 27 April 2012

Khazanah Sulam Indonesia

Wajah Ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono tampak semringah tatkala Triesna Jero Wacik, Selasa pekan lalu, meluncurkan buku Adikarya Sulam Indonesia di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Bersamaan dengan peluncuran buku itu, tampak gerai kecil rupa-rupa hasil sulaman Nusantara.

Triesna, istri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, adalah pendiri Yayasan Sulam Indonesia. Yayasan itu membina dan mengembangkan sulam di seluruh Nusantara. Buku berukuran 33 x 24 sentimeter, 325 halaman, dengan dua bahasa Indonesia dan Inggris ini berisi sejarah sulam Indonesia. Ada juga cerita-cerita menarik tentang sulam, teknik, dan aneka motif dari Aceh hingga Papua. “Sulam bukan sekadar pemberi hiasan pada sebuah bahan, tapi memiliki makna heritage kain lokal di Indonesia,” katanya.
Di Indonesia, seni kerajinan ini, menurut Triesna, masih dipandang sebelah mata. “Akibatnya, mempengaruhi produk seni sulam Indonesia dari segi kuantitas dan kualitas,” ujarnya. Di dalam negeri, sulam, secara material, motif, dan bentuk produk, masih statis. Padahal khazanah kekayaan ragam budaya dengan latar belakang psikososial di Indonesia sangat beraneka. “Saya yakin sulam lokal (Indonesia) tak kalah, mampu bersaing di tingkat global dan internasional,” katanya.

Menurut pengamat kain dari Universitas Trisakti dan Institut Kesenian Jakarta, Sativa Sultan Azwar, Indonesia memiliki kekayaan seni sulam. Dia menyebutkan sulam kasab dari Aceh, sulam suji cair dan sulam kepalo samek dari Sumatera Barat. Ada pula sulam manik-manik Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur, sulam terawang dari Gorontalo, serta sulam tapis dan usus dari Lampung. “Sejarah keterampilan ragam hias sulam atau bordir di Indonesia sudah ada sejak abad ke-18 Masehi,” kata dosen yang akrab dipanggil Atitje ini. Bahkan lebih jauh, bordir sudah mulai dikembangkan dalam bentuk tradisional di seluruh Nusantara sejak abad ke-16 Masehi.

Saat itu bordir atau sulaman ditujukan bagi inisial kerajaan, menghias busana para bangsawan dan kaum ningrat. Istilah bordir, menurut Atitje, identik dengan menyulam, berasal dari kata bordir--diambil dari embroidery--yang berarti sulaman.

Perkembangan sulam terbesar berlangsung di Cina. Negeri itu adalah sumber ulat sutra, pembuatan serat sutra untuk menyulam dan menenun dengan benang yang indah. Sejarah mencatat peternakan ulat sutra merupakan salah satu budidaya pertama di Cina. Tak mengherankan bila kecakapan kriya tenun sutra telah dikuasai pula sejak 2698 SM, dipelopori Leizu, istri Kaisar Huangdi dari Kerajaan Kuning. Mereka menggunakan kain sutra dihiasi dengan sulaman benang sutra. Pada masa itu, pemakaian jubah sutra menunjukkan peranan sulam.

Menurut perancang Poppy Dharsono, kegiatan menyulam umumnya dilakukan kaum perempuan. Di beberapa negara Asia, Eropa, termasuk negara-negara Islam, para wanita sejak abad ke-17 sampai 19 menekuni menyulam sebagai keterampilan khusus. “Kerajinan sulam di Indonesia mengalami kemajuan pesat sejak permulaan abad ke-18,” ujarnya.

Pendidikan Belanda, menurut Poppy, membawa pengaruh terhadap kemajuan sulam Nusantara. Itu tercermin dari kerajinan sulam yang berkembang pesat dan ditemukan hampir di seluruh kepulauan Indonesia, seperti Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sangir Talaud (Sulawesi Utara), dan Timor.

Sebagai contoh, sulam di Pulau Jawa dipakai pada pembuatan hiasan kopiah, kasut, kendit, kebaya, oto, dan pakaian kebesaran kaum priayi. Di daerah ini, pembuatannya dilakukan di atas kain lawaon atau mori, kestin, beludru, sekelat, dan stimin. Penyulaman di Pulau Jawa menggunakan benang logam, katun, sutra, wol, gim, klengkam, dan merjan. [Hadriani P]

Tempo

No comments:

Post a Comment